Halaman

Sabtu, 24 Maret 2012

Munir Said Thalib

Munir Said Thalib seorang tokoh aktivis HAM Indonesia yang lahir di Malang, 8 Desember 1965. Munir adalah sosok pria yang sederhana dan bersahaja, seorang tokoh pejuang HAM yang menjunjung tinggi toleransi, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, anti kekerasan dan berjuang tanpa kenal lelah dalam melawan praktek-praktek otoritarian serta militeristik. Munir mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Universitas Brawijaya. Sejak menjadi mahasiswa, Munir sudah menjadi aktivis kampus dan pernah menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas Hukum. Setelah berhasil lulus kuliah, Munir menunjukkan keseriusannya di bidang hukum dengan melakukan pembelaan-pembelaan hukum terutama pembelaan bagi kaum-kaum yang tertindas. Disela-sela kegiatan tersebut, Munir juga mendirikan sebuah organisasi dan aktif bergabung dengan berbagai organisasi. Munir sempat ikut membantu pemerintah dalam investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU), ia juga aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian, Politik dan perburuhan.



Sosok Munir semasa hidupnya selalu aktif memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas, ia mendengarkan serta lantang menyurakan jeritan hati orang-orang yang terampas haknya, seolah tak peduli akan keselamatan nyawanya sendiri. Ia juga seorang yang tidak gila materi, jabatan dan pangkat. Saat Munir menerima penghargaan "The Right Livelihood Award" beserta hadiah uang ratusan juta rupiah, ia tidak menikmatinya sendiri, melainkan membagi dua dengan Kontras, dan sebagian lagi diserahkan kepada ibunda tercintanya. Ketika banyak para pejabat yang saling bersaing dengan menggunakan mobil-mobil mewah, tetapi tidak dengan seorang munir. Ia tetap sederhana, hari-harinya selalu ditemani dengan motor kesayangannya.

Beberapa kasus yang pernah ditangani munir antara lain, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994, menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh militer pada tahun 1993, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999).
Di tahun 2003, Munir ikut bergabung dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi gedung DPR pasca terjadinya penyerangan dan kekerasan yang terjadi dikantor Tempo. Padahal ketika itu kondisi Munir sedang tidak sehat dan dokter memerintahkannya untuk istirahat.

7 September 2004 terjadi momen yang tidak bisa dilupakan sekaligus momen menyedihkan bagi sesama aktivis HAM, para buruh, para petani, mahasiswa dan mungkin seluruh negri ini. Mereka kehilangan tokoh yang selama ini lantang dan berani menyuarakan hak-hak orang yang tertindas. Hari itu Munir Said Thalib dinyatakan wafat didalam pesawat Garuda GA-974 kursi 40 G dalam perjalanannya menuju Belanda guna melanjutkan studynya ke Universitas Utrecht. Munir dibunuh dengan menggunakan racun arsenik yang yang ditaruh ke makanannya oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah seorang pilot Garuda yang waktu itu sedang cuti. Dan pada saat keberangkatan Munir ke Belanda, secara kontroversial ia diangkat sebagai corporate security oleh Dirut Garuda. Sampai saat ini kasus terbunuhnya Munir masih menjadi misteri, jenasah Munir dimakamkan di sebuah pemakaman umum di Kota Batu. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Mungkin secarik kata dari lagu Kantata Samsara yang berjudul Lagu Buat Penyaksi ini pantas dipersembahkan untuk sang Pahlawan orang Hilang, Munir Said Thalib.
Matinya seorang penyaksi
Bukan matinya kesaksian,
Tercatat di relung jiwa
Menjadi bara membara,
Duka cita terdalam..

Hari ini kisahmu abadi,

Berbaringlah kawan
Berbaringlah dengan tenang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar